Senin, 29 Oktober 2012

Kilas Balik | Bioskop Pertama di Indonesia



Kilas Balik | Bioskop Pertama di Indonesia Seluruh masyarakat Indonesia, bahkan di dunia yang tinggal di kota-kota besar pasti pernah mengunjungi bioskop untuk menonton film. Masyarakat pun sangat terhibur dengan tayangan-tayangan berkualitas dan layanan bioskop yang membuat para visitor nyaman.



[imagetag]


Di Indonesia, antusiasme masyarakat untuk pergi ke bioskop bisa dilihat pada akhir pekan, dan pada film midnight (tengah malam) yang diadakan setiap Sabtu malam.

Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember tahun 1900, di Jalan Tanah Abang 1, Kebon Jahe, Jakarta Pusat. Namun Bioskop ini bukan didirikan di sebuah gedung, tapi di sebuah rumah.

Bioskop yang didirikan oleh orang Belanda itu mematok harga tiket sebesar 2 Gulden (perak) untuk kelas 1 dan harga kelas dua hanya setengah Gulden. Harga yang cukup mahal mengingat harga setengah Gulden saja setara dengan 10 kg beras ketika itu.

Warga Jakarta saat itu disuguhkan dengan film tidak berbicara alias bisu yang berjudul "Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Pangeran Hertog Hendrick memasuki Ibu Kota Belanda, Den Haag". Film berwarna hitam-putih ini di hanya diiringi musik sepanjang film berlangsung.

Setelah itu, bioskop sudah menayangkan film hitam-putih itu di dalam gedung-gedung. Pada tahun 1901 berdiri bioskop di kawasan Gambir, bangunan bioskop masih menyerupai bangsal dengan dinding terbuat dari gedek dan beratapkan seng.

Bangunan ini tidak dibuat permanen karena setelah film diputar maka pengusaha film itu akan memutar filmnya di luar kota dan berkeliling ke kota-kota lainnya. Biokop ini dikenal dengan nama Talbot yang notabene adalah nama pemilik dari bioskop tersebut.

Seorang pengusaha lainnya yang bernama Schwarz mendirikan bioskop di kawasan di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang. Namun nahas, bioskop itu hangus terbakar setelah mengalami kecelakaan dan akhirnya pindah ke sebuah gedung di daerah Pasar Baru.

Tahun 1903, muncul bioskop-bioskop lainnya di Deca Park yang bernama Jules Francois de Calonne. De Calonee ini berbeda dengan bioskop lainnya, pemutaran film ini diputar di lapangan terbuka atau yang biasa disebut 'misbar' alias gerimis bubar.

Bioskop lainnya yang mulai menjamur seperti Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Cinema di Krekot, Centraal di Jatinegara, Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jalan Veteran, Widjaja di Jalan Pasar Ikan, Rivoli di Kramat, dan lainnya.

Sampai akhirnya di tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas.

Bioskop ini pernah berubah nama menjadi bioskop Megaria sebelum pada tahun 2008 berubah kembali menjadi Metropole.

Pada tahun 1987 bioskop mulai berkonsep sinepleks atau gedung bioskop dengan lebih dari satu layar. Sinepleks ini biasanya berada di titik-titik keramaian seperti di mall, restoran, pusat perbelanjaan, dan pertokoan.

Pada tahun 2000-an bioskop ini makin marak di Indonesia. Pengelola terbesarnya yaitu 21 Cineplex dengan bioskop 21 dan XXI, dan satunya lagi dikelola oleh the premiere. Bioskop ini tersebar di seluruh nusantara.

Dari situ lah industri perfilman dari tahun ke tahun mengalam perkembangan yang sangat signifikan. Masyarakat yang penat bekerja dan ingin menyegarkan pikirannya datang ke bioskop bersama keluarga atau dengan teman-temannya.

#bcfda5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar