Jumat, 30 November 2012

Gedung Bersejarah Di Jalan Cilacap Sedang Dihancurkan



Foto: Faya Falicya

[imagetag]

Ajaib, suatu bangunan cagar budaya golongan "A" di Menteng bisa dihancurkan sebagian begitu saja oleh pemiliknya. Inilah nasib sebuah gedung di Jalan Cilacap no. 4, Menteng. Gedung ini pertama kali dibangun sebagai gedung jawatan telepon, Telefoongebouw Menteng, 1923/1924.

Menurut Adolf Heuken, penulis buku "Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia", gedung ini pernah digunakan oleh Departement van Onderwisj en Eredienst, sebagai kantor Badan Pekerja Komite National Indonesia Pusat (1945/46) dan oleh Departemen Pendidikan dan Pengajaran (1950), dan kemudian oleh Ditjen Kebudayaan (Dept. P. dan K.) sejak 1968 hingga 1996.

[imagetag]

Keindahan bangunan ini terletak setidaknya pada karena proporsinya yang baik. Yang sangat menarik perhatian orang adalah balkon kayu yang mengelilingi sebagian tingkat kedua, baik pada sisi luar maupun dalam.

Pada tahun 1999 gedung ini dipugar dan lalu digunakan oleh Yayasan Universitas Bung Karno. Namun beberapa tahun belakangan ini kepemilikan telah berganti kepada yang sekarang: Hery Wijaja, PT. Menteng Heritage Realty, Gedung Central Senayan 2, Lantai 20, Jalan Asia Afrika No. 8, Jakarta Pusat. Saat dikonfirmasi ke kantornya, Hery Wijaja sedang tidak berada di tempat.

[imagetag]

Bagian bangunan pada sisi depan, yang menghadap Jalan Cilacap, masih kelihatan utuh. Tapi sebagian sayap bangunan kiri dan kanan sudah dhancurkan. Padahal, sebagai bangunan dengan kategori "A", ia sama sekali tidak boleh dikurangi, dan harus dilestarikan sebagaimana aslinya.

Memang persoalan pelestarian ini tidak mudah. Karena biaya memugar dan memlihara suatu bangunan tua bersejarah sering kali lebih mahal daripada membangun yang baru. Yang lebih merepotkan, tentu saja pemilik seperti kehilangan hak untuk memanfaatkannya secara lebih maksimal, dan kehilangan hak untuk membangun bangunan baru yang bisa saja lebih menguntungkan bagi dirinya.

Karena itu, menurut hemat saya prinsip pertama adalah pemerintah tidak seharusnya menjual (atau ruilslag) bangunan bersejarah yang sudah dikuasainya.

Kedua pemerintah harus tegas menegakkan aturan.

Tetapi, ketiga, harus dibuatkan juga sistem insentif bagi para perorangan pemilik bangunan bersejarah, sehingga mereka tidak merasa dirugikan dan hanya diwajibkan memelihara bangunan bersejarah tanpa keuntungan apa-apa. Negara-negara Eropa sesudah Perang Dunia ke-2 punya banyak dana untuk mengambil alih, memugar dan mengurus banyak sekali bangunan bersejarah. Belakangan ini pemerintah Belanda membuat satu langkah maju, dengan mengizinkan swasta memanfaatkan bangunan bersejarah yang telah dipugar pemerintah, melalui suatu keterikatan kontrak.

Pilihan lain adalah cara Amerika Serikat: masyarakat membentuk suatu dana abadi (trust fund) untuk membeli, memugar, dan memanfaatkan dalam batas-batas yang ketat bangunan-bangunan bersejarah.

Tanpa solusi pada sisi ekonomi seperti di atas, rasanya masalah pelestarian bangunan bersejarah akan tetap tersendat dan terus-menerus menghadapi rindangan dan bahkan konflik. Saran saya suatu kerjasama: Pemerintah memberi modal awal bagi dana abadi, lalu pihak swasta dan masyarakat diajak menambah. Dana ini harus dikelola independen dan profesional berdasarkan aturan yang ketat.

Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor

Sumber

#bcfda5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar